KONFLIK AGAMA DI INDONESIA
Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah negara yang penduduknya majemuk
dari segi suku bangsa, budaya dan agama. Realitas kemajemukan tersebut,
disadari oleh para pemimpin bangsa, yang memperjuangkan kemerdekaan negeri ini,
dari penjajahan asing. Mereka memandang bahwa kemajemukan tersebut bukanlah
halangan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan, serta untuk mewujudkan
cita-cita nasional dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Kemajemukan
tersebut termasuk kekayaan bangsa Indonesia.
Para pemimpin bangsa tersebut mempunyai cara pandang yang
positif tentang kemajemukan. Cara pandang seperti ini selaras dengan ajaran
agama yang menjelaskan bahwa kemajemukan itu, bagian dari sunnatullah. Agama
mengingatkan bahwa kemajemukan terjadi atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga
harus diterima dengan lapang dada dan dihargai, termasuk di dalamnya perbedaan
konsepsi keagamaan.
Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah
sebuah realitas, yang tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan –bahkan
benturan konsepsi itu- terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di bidang
konsepsi tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini
dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik fisik antara umat berbeda agama.
Konflik Maluku, Poso, ditambah sejumlah kasus terpisah di
berbagai tempat di mana kaum Muslim terlibat konflik secara langsung
dengan umat Kristen adalah sejumlah contoh konflik yang –sedikit
banyak- dipicu oleh perbedaan konsep di antara kedua agama ini. Perang Salib
(1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam, pembantaian umat Islam di
Granada oleh Ratu Isabella ketika mengusir Dinasti Islam terakhir di Spanyol,
adalah konflik antara Islam dan Kristen yang terbesar sepanjang sejarah.
Catatan ini, mungkin akan bertambah panjang, jika intervensi Barat (Amerika dan
sekutu-sekutunya) di dunia Islam dilampirkan pula di sini.
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama
sebagai sumber konflik, telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali
ajaran agama dan kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan
harapan konflik di antara umat manusia akan teredam jika faktor “kesamaan
agama” itu didahulukan. Pada level eksoteris-seperti aspek syari’ah-
agama-agama memang berbeda, tetapi pada level esoteris, semuanya sama saja.
Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang sama-sama
sah untuk menuju kepada Tuhan, termasuk Islam dan Kristen.
Agama, Pemersatu atau Konflik?
Semua ajaran agama pada dasarnya baik dan mengajak
kepada kebaikan. Namun nyatanya tidak semua yang dianggap baik itu bisa
bertemu dan seiring sejalan. Bahkan, sekali waktu dapat terjadi pertentangan
antara yang satu dengan yang lain. Alasannya tentu bermacam-macam.
Misalnya, tidak mesti yang dianggap baik itu benar. Juga, apa yang benar
menurut manusia belum tentu dibenarkan oleh Tuhan dan alasan lain yang
dapat dimunculkan.
Menurut Joachim Wach, seorang sarjana ahli dalam
sosiologi agama, setidaknya terdapat dua pandangan terhadap kehadiran agama
dalam suatu masyarakat, negatif dan positif. Pendapat pertama
mengatakan, ketika agama hadir dalam satu komunitas, perpecahan tak
dapat dielakkan. Salah satu sebabnya adalah ia hadir dengan seperangkat
ritual dan sistem kepercayaan yang lama-lama melahirkan suatu komunitas
tersendiri yang berbeda dari komunitas pemeluk agama lain. Rasa perbedaan
tadi kian intensif ketika para pemeluk suatu agama telah sampai pada sikap dan
keyakinan bahwa satu-satunya agama yang benar adalah agama yang dipeluknya.
Sedangkan yang lain salah dan kalau perlu dimusuhi.
Pandangan yang kedua adalah sebaliknya. Justru agama
berperan sebagai faktor integrasi. Katakanlah ketika masyarakat
hidup dalam suku-suku dengan sentimen sukuisme yang tinggi, bahkan di sana
berlaku hukum rimba, biasanya agama mampu berperan memberikan ikatan baru
yang lebih menyeluruh sehingga terkuburlah kepingan-kepingan sentimen lama
sumber perpecahan tadi. Agama dengan sistem kepercayaan yang baku, bentuk
ritual yang sakral, serta organisasi keagamaan dalam hubungan sosial
mempunyai daya ikat yang amat kuat bagi integrasi masyarakat.
Dengan demikian, mengikuti teori Joachim Wach, bagaimana
pun juga kehadiran dan eksistensi Islam di Indonesia ini jelas
merupakan faktor integrasi sekaligus konflik yang amat besar, yang mampu
mengikis friksi-friksi sukuisme sebelumnya.
Agama Dan
Konflik
Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di
berbagai daerah di Indonesia, beberapa tahun terakhir. Beberapa di antaranya
berskala besar dan berlangsung lama, seperti kerusuhan di Ambon, (mulai 1998),
Poso (mulai 1998), Maluku Utara (2000), dan beberapa tempat lain.
Kajian-kajian yang telah dilakukan mengatakan bahwa
konflik di Maluku pada awalnya disebabkan oleh karena kesenjangan ekonomi dan
kepentingan politik. Eskalasi politik meningkat cepat karena mereka yang
bertikai melibatkan sentimen keagamaan untuk memperoleh dukungan yang cepat dan
luas. Agama dalam kaitan ini bukan pemicu konflik, karena isu agama itu muncul
belakangan.
Faktor
Keagamaan
Agama pada dasarnya memiliki faktor integrasi dan
disintegrasi. Faktor integrasi, antara lain, agama mengajarkan persaudaraan
atas dasar iman, kebangsaan dan kemanusiaan. Agama mengajarkan kedamaian dan
kerukunan di antara manusia dan sesama makhluk. Agama mengajarkan budi pekerti
yang luhur, hidup tertib dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam
masyarakat.
Ajaran yang disebutkan itu bersifat universal. Selain
itu, terdapat ajaran agama yang juga bisa menimbulkan disintegrasi, bila
dipahami secara sempit dan kaku. Di antaranya, setiap pemeluk agama menyakini
bahwa agama yang dianutnya adalah jalan hidup yang paling benar, sehingga dapat
menimbulkan prasangka negatif atau sikap memandang rendah pemeluk agama lain.
Keragaman agama ternyata menimbulkan dilema
tersendiri. Di satu sisi, memberikan kontribusi positif untuk pembangunan
bangsa. Namun di sisi lain keragaman agama dapat juga berpotensi menjadi
sumber konflik di kemudian hari.
Berikut ini penjelasan tentang sebagian dari faktor keagamaan. Penyiaran agama merupakan perintah (paling
tidak sebagian) agama. Kegiatan ini sering dilakukan tanpa disertai dengan
kedewasaan dan sikap toleran terhadap pemeluk agama lain, untuk memilih sendiri
jalan hidupnya.
Akibat terjadi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan
atau bahkan pemaksaan yang sifatnya terselubung, maupun terang-terangan. Kasus
semacam itu, dapat merusak hubungan antar umat beragama. Untuk mengurangi
kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau bahkan pemaksaan semacam itu,
pemerintah mengeluarkan SKB Menag dan Mendagri No 1 tahun 1979 tentang Tatacara
Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di
Indonesia.
Faktor lain terkait dengan perkawinan. Dalam kemajemukan
masyarakat di Indonesia, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda sering
menjadi pemicu terganggunya hubungan antar umat beragama. Hal itu terlihat jika
perkawinan dijadikan salah satu alat untuk mengajak pasangan agar berpindah
agama. Konversi agama dilakukan untuk mengesahkan perkawinan. Setelah
perkawinan berlangsung beberapa lama, orang yang bersangkutan kembali ke
agamanya semula dan mengajak pasangannya untuk memeluk agama tersebut.
Kasus yang juga sering muncul adalah terkait dengan
pendirian rumah ibadat. Kehadiran sebuah rumah ibadat sering mengganggu
hubungan antar umat beragama, atau bahkan memicu konflik karena lokasinya
berada di tengah komunitas yang kebanyakan menganut agama lain. Rumah ibadat
dalam kaitan ini, tidak hanya dilihat sebagai tempat untuk melaksanakan ibadat
atau kegiatan keagamaan semata, tetapi juga sebagai simbol keberadaan, suatu
kelompok agama.
Permasalahannya menjadi rumit jika jumlah rumah ibadat
tersebut dipandang oleh pihak lain tidak berdasarkan keperluan, melainkan untuk
kepentingan penyiaran agama pada komunitas lain. Kasus-kasus yang terkait
dengan pengrusakan rumah ibadat menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi
lahirnya SKB Menag dan Mendagri No 1 tahun 1969 yang kemudian disempurnakan dan
diganti dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9
tahun 2006/No 8 tahun 2006 tanggal 21 Maret 2006.
Faktor-faktor
non Keagamaan
Adapun faktor-faktor non keagamaan yang diidentifikasi
sebagai penyebab ketidakrukunan umat beragama meliputi beberapa hal, antara
lain kesenjangan ekonomi, kepentingan politik, perbedaan
nilai sosial budaya, kemajuan teknologi informasi dan transportasi.
Kehadiran penduduk pendatang di satu daerah sering
menimbulkan kesenjangan ekonomi, sebab mereka lebih ulet dan trampil bekerja
dibandingkan dengan penduduk asli . Kondisi itu sering menimbulkan kecemburuan
sosial dan dapat memicu konflik. Selanjutnya, dalam berbagai kasus, munculnya
suatu kelompok politik juga dipengaruhi oleh misi keagamaan dari para elit kelompok
politik tersebut.
Ketegangan atau konflik di antara elit politik tersebut
lalu pada gilirannya dilihat sebagai pertikaian antar kelompok politik yang
berbeda agama. Demikian pula perbedaan nilai budaya juga dapat menjadi penyebab
konflik bila suatu komunitas yang kebetulan menganut agama tertentu mengalami
ketersinggungan karena perilaku atau tindakan pihak lain, yang kebetulan
menganut agama berbeda kurang memahami atau kurang menghargai adat istiadat,
atau budaya yang mereka hormati.[15]
Sejarah
Singkat Masuknya Agama Islam di Indonesia
Para ahli sejarah berpendapat bahwa Islam datang ke
Indonesia pada abad ke-13, yang dibawa oleh para pedagang India yang menganut
paham sufisme (mistik Islam).
Paham sufisme dalam berbagai bentuknya lebih menekankan
pada pengertian agama sebagai urusan pribadi seseorang dalam usahanya untuk
mencari hubungan yang intim dengan Allah Hubungan pribadi ini mencari suatu
keakraban hidup dengan Allah, dan yang berpusat pada kepuasan dan kehangatan
hati atau perasaan.
Menurut para ahli, sufisme pada dasarnya adalah religion
of the heart atau agama hati, dan bukan religion of the law atau agama hukum.
Atas dasar ini, maka memang berbeda dengan perjumpaan Islam - Kristen di Eropa
pada abad-abad pertama Hijriyah, yang ditandai oleh konfrontasi dan kekerasan,
maka penyebaran agama; Islam ke dunia timur, termasuk ke Indonesia adalah
melalui jalan dagang dan jalan damai. Sebagai kekuatan, Islam pada mulanya
mengambil posisi di daerah-daerah pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa dan
pantai timur Sumatera. Dari daerah pantai dan pusat dagang ini, Islam menyebar
secara berangsur-angsur dan secara damai ke daerah-daerah pedalaman.
Memang para sufi inilah, yang
telah berhasil membuat Islam para raja dan menjadikan mereka sultan yang
mengepalai pemerintahan dalam suatu daerah Islam. Begitu raja menjadi Islam,
maka rakyat pun secara otomatis mengikuti agama sang sultan. Proses pengislaman
seperti ini merupakan hal yang lazim pada saat itu, dan merupakan gejala yang
sama yang terjadi di Jerman pada zaman reformasi abad ke-16. Jika kita
mengamati perkembangan Islam di Indonesia, maka Islam versi sufi ini menyebar
ke seluruh nusantara. Dan untuk kurun waktu kira-kira 600 tahun, keadaan Islam
versi sufi ini tetap berlangsung tanpa gangguan yang berarti.
Sejarah
Singkat Masuknya Agama Kristen di Indonesia
Pada akhir abad ke-15, orang Portugis telah mendapat
jalan laut ke timur: Vasco De Gama tiba di pantai India pada tahun 1498.
Beberapa tahun kemudian (1512). kapal-kapal Portugis mengunjungi kepulauan
rempah-rempah, Maluku, untuk pertama kali, dan sejak tahun 1522 mereka tinggal
tetap di Ternate, Ambon, Banda, dan lain-lain tempat untuk berdagang.
Paus membagi dunia baru antara Spanyol dan Portugis, maka
salah satu syaratnya ialah raja-raja harus memajukan misi Katolik Roma di
daerah-daerah yang telah diserahkan kepada mereka. Tuntutan ini memang sesuai
dengan pertalian rapat antara negara dan gereja pada zaman itu, dan raja-raja
dengan rela hati melayani kepentingan gereja.
Misionaris yang pertama-tama menginjakkan kakinya di
pulau-pulau Maluku, ialah beberapa rahib Franciskan yang mendarat di Ternate
pada tahun 1522, tetapi karena rupa-rupa perselisihan di antara orang Portugis
sendiri, mereka segera terpaksa berangkat pulang. Lalu, mereka mulai bekerja di
Halmahera pada tahun 1534. Tetapi karena kebengisan pembesar Portugis, rakyat
bermufakat untuk mengusir semua orang kulit putih dan memaksa orang yang sudah
masuk Kristen untuk murtad. Simon Vaz, seorang pater Franciskan, mati dibunuh
selaku syahid pertama di Maluku (1536). Perlawanan ini ditindas, dan kemudian
pater lain berusaha lagi untuk menanamkan bibit agama Roma di Halmahera. Di
Ambon sebagian rakyat dibaptiskan, karena ingin mendapat pertolongan Portugis
terhadap orang Islam.
Usaha misi baru berkembang sesudah kunjungan misionaris
Yesuit yang masyhur, yaitu Franciscus Xaverius ke Maluku. Setelah mempersiapkan
diri beberapa bulan lama di Maluku dengan mempelajari bahasa Melayu, Xaverius
tiba di Ambon pada bulan Februari 1546. Setelah tiga bulan bekerja di sana, ia
mengunjungi Ternate, Halmahera, dan Morotai. Setelah 15 bulan bekerja di
Maluku, ia membaptiskan beribu-ribu orang.
Pada tahun 1570, misi Katolik Roma di Maluku ditimpa
bencana yang hebat. Sultan Hairun dari Ternate dibunuh dalam benteng Portugis
dengan pengkhianatan yang keji. Akibatnya ialah banyak kampung Kristen dibakar
oleh orang Islam, Bacan dikalahkan oleh Ternate, sehingga hilang bagi misi, dan
di mana-mana serangan Islam terhadap jemaat Kristen bertambah berbahaya
sehingga banyak orang murtad. Kedudukan misi makin hari makin sukar, orang
Portugis dibenci, kehidupan rohani banyak mundur, dan bilangan orang Kristen
berkurang. Kebanyakan mereka secara nama saja. Jumlah para misionaris yang
tinggal cuma sedikit dan mereka menderita pelbagai sengsara. Makin sukar kuasa
Portugis, maka makin lenyaplah pengaruh misi.
Dalam rangka peperangan melawan Spanyol dan Portugis,
orang-orang Belanda datang ke Indonesia. Mereka mengambil alih daerah yang
dikuasai Portugis. Orang-orang Kristen dijadikan Protestan. Itulah awalnya
Gereja Protestan memasuki wilayah nusantara ini.
Para Pendeta Protestan datang bersama-sama dengan
kekuasaan Belanda dengan kongsi dagangnya yaitu VOC. Gereja terlalu erat
berhubungan dengan negara (VOC) dan dikuasai olehnya.
Karena kepentingan gereja harus mengalah terhadap
kepentingan negara (VOC), maka pekabaran Injil kepada orang-orang non Kristen
tidak dapat berkembang.
Pada abad ke-19, di Eropa terjadi suatu gerakan yang
membawa hidup baru, yaitu revival (kebangunan) yang besar. Hal ini membawa
pengaruh yang besar terhadap perkembangan gereja di Indonesia. Abad ke-19 ini
menjadi abad "Pekabaran Injil" bagi Indonesia. Dalam abad ke-19 dan
awal abad ke-20, diletakkanlah dasar gereja-gereja yang ada sekarang ini.
Konflik
Islam - Kristen di Indonesia
Awal masuknya kekristenan di Indonesia sebenarnya dalam
suasana yang kurang bersahabat, terutama berhubungan dengan kelompok masyarakat
beragama, khususnya agama Islam. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, pada
abad ke-16, terjadi konflik yang disertai dengan penindasan fisik dan mental
dari orang Islam terhadap orang Kristen di Maluku.
Setelah Belanda dikalahkan Jepang, maka keadaan turut
berubah dalam hubungan Islam - Kristen di Indonesia. Untuk maksud keuntungan
politiknya, Jepang memberikan keleluasaan yang besar kepada Islam untuk turut
mendukung berbagai rencana pengukuhan kedudukan penjajahan Jepang di Indonesia.
Pada sisi lain, kelompok Islam beraliran sunni atau
santri sejak awal perjuangan untuk merebut kemerdekaan dilihat sebagai jihad
untuk melawan kaum kafir dan yang sekaligus merupakan tugas pribadi dan tugas
masyarakat dalam umat.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi
Selatan adalah penampakan ketidakpuasan sebagian santri terhadap gagalnya
gagasan negara Islam diberlakukan di Indonesia.
Pada tahun 1985 terjadi pemboman terhadap bank-bank,
beberapa gereja, dan Sekolah Teologia. Walaupun pemerintah tidak menyebut
dengan jelas pihak yang tersangkut dalam peristiwa itu, namun adalah jelas
dalam kejadian yang sebenarnya bahwa beberapa oknum Islam fundamentalis
terlibat.
Sudah merupakan gejala umum dalam kerusuhan di Indonesia
bahwa bangkitnya oposisi keras Islam mengambil bentuk dalam gerakan anti
pemerintah, anti Cia, dan anti Kristen.
Pada tahun 1996 dan awal tahun 1997 diwarnai dengan
berbagai kerusuhan di berbagai tempat di Indonesia. Pada bulan April 1996,
Cikampek sebuah kota di sebelah timur ibu kota DKI Jakarta mengalami kerusuhan
yang menjurus pada huru-hara SARA, dimana berapa gedung gereja dan SD Kristen
dilempari batu oleh massa yang marah. Peristiwa serupa dialami oleh orang-orang
Kristen di daerah Cileungsi - Bogor. Pada tanggal 14 April, beberapa Gereja
Pantekosta dirusak dan dihancurkan massa, bahkan ada anggota jemaat yang
dipukuli oleh massa yang marah dan brutal.
Kasus-kasus yang melanda beberapa kota di Jawa Barat itu
ternyata berkembang dan menjalar ke kota Surabaya pada bulan Juni 1996 tidak
kurang dari 10 gedung gereja dirusak oleh massa.
Pada tanggal 10 Oktober 1996, kasus yang lebih berat dan
lebih luas menimpa kota Situbondo dan sekitarnya. Lebih dari 20 gedung gereja
dan beberapa Sekolah Kristen dihancurkan dan ada yang dibakar. Kasus serupa
kembali menerpa kota Tasikmalaya. Tanggal 26 Desember 1996, massa mengamuk dan
menghancurkan berbagai fasilitas umum, kantor polisi, dan gedung-gedung gereja.
Tercatat paling tidak 13 gedung gereja dihancurkan sebagian dibakar, dua
sekolah Kristen dan Katolik dibakar.
Pada awal tahun 1997, tepatnya 30 Januari 1997, kembali
terjadi kerusuhan di daerah Jawa Barat, yaitu kota Rengasdengklok. Dan, kembali
gedung gereja dan Sekolah Kristen dihancurkan dan sebagian dibakar massa.
Masih ada banyak kasus lagi yang berbau SARA. khususnya
kental berbau keagamaan yang belum dikemukakan, namun berbagai kasus yang sudah
dikemukakan di atas tersirat sentimen keagamaan demikian kuat. Konflik
masyarakat beragama Islam dengan orang Kristen tak terhindarkan.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, bahwa konflik antara umat beragama,
dalam hal ini Islam dan Kristen, dalam berbagai kasus, tidaklah disebabkan
karena perbedaan konsepsi di antara dua agama besar ini. Itu lebih merupakan
asumsi yang tendensius, yang disengaja atau tidak, berupaya “mengaburkan” peran
agama dalam membentuk peradaban baru yang lebih progressif. Dia lebih
menonjolkan “wajah muram” agama-agama di tengah umatnya, sehingga agama
tidak ubahnya seperti tembok yang memisahkan manusia dengan manusia dari
kepercayaan yang berbeda, sekaligus menumbuhsuburkan sikap kebencian dan
permusuhan di antara pemeluk agama.
Implikasi yang muncul kemudian adalah lahirnya dua kutub
pemikiran. Yang pertama bersikap “anti agama” sementara yang terakhir mencoba
“menyamakan” agama-agama, dengan berlindung di balik “topeng” pluralisme agama.
Gagasan yang terakhir ini, jika ditinjau dari keseluruhan aspek Islam terhadap
Kristen jelas suatu gagasan yang tidak mungkin, karena “memang” kedua agama ini
berbeda.
Kendatipun demikian, konflik antara umat Islam dan
Kristen jika dianalisa lebih jauh, tidak seluruhnya disebabkan karena perbedaan
konsepsi di antara kedua pemeluknya. Faktor-faktor politik, sosial, ekonomi,
dan sebagainya sering lepas dari pengamatan, sehingga agama dijadikan alat
legitimasi terhadap sikap-sikap agresif dan radikal kelompok satu terhadap yang
lainnya.