Untuk Yang Ingin Copy-Paste Dimohon Untuk Menyertakan Link "http://kerjaan-kita.blogspot.com/"

Konflik Agama Di Indonesia

KONFLIK AGAMA DI INDONESIA

Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah negara yang penduduknya majemuk dari segi suku bangsa, budaya dan agama. Realitas kemajemukan tersebut, disadari oleh para pemimpin bangsa, yang memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, dari penjajahan asing. Mereka memandang bahwa kemajemukan tersebut bukanlah halangan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan, serta untuk mewujudkan cita-cita nasional dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Kemajemukan tersebut termasuk kekayaan bangsa Indonesia.
Para pemimpin bangsa tersebut mempunyai cara pandang yang positif tentang kemajemukan. Cara pandang seperti ini selaras dengan ajaran agama yang menjelaskan bahwa kemajemukan itu, bagian dari sunnatullah. Agama mengingatkan bahwa kemajemukan terjadi atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga harus diterima dengan lapang dada dan dihargai, termasuk di dalamnya perbedaan konsepsi keagamaan.
Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan –bahkan benturan konsepsi itu- terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di bidang konsepsi  tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik fisik antara umat berbeda agama.
Konflik Maluku, Poso, ditambah sejumlah kasus terpisah di berbagai  tempat di mana kaum Muslim terlibat konflik secara langsung dengan umat Kristen adalah sejumlah contoh konflik yang  –sedikit banyak- dipicu oleh perbedaan konsep di antara kedua agama ini. Perang Salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam, pembantaian umat Islam di Granada oleh Ratu Isabella ketika mengusir Dinasti Islam terakhir di Spanyol, adalah konflik antara Islam dan Kristen yang terbesar sepanjang sejarah. Catatan ini, mungkin akan bertambah panjang, jika intervensi Barat (Amerika dan sekutu-sekutunya) di dunia Islam dilampirkan pula di sini.
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik, telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik di antara umat manusia akan teredam jika faktor “kesamaan agama” itu didahulukan. Pada level eksoteris-seperti aspek syari’ah- agama-agama memang berbeda, tetapi pada level esoteris, semuanya sama saja. Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk menuju kepada Tuhan, termasuk Islam dan Kristen.

Agama,  Pemersatu atau Konflik?
Semua ajaran agama pada dasarnya ba­ik dan mengajak kepada kebaikan. Na­­­mun nyatanya tidak semua yang di­anggap baik itu bisa bertemu dan se­iring sejalan. Bahkan, sekali waktu da­pat terjadi pertentangan antara yang sa­­­­tu dengan yang lain. Alasannya tentu ber­­ma­cam-macam. Misalnya, tidak mes­ti yang dianggap baik itu benar. Juga, a­pa yang benar menurut manusia belum tentu dibenarkan oleh Tuhan dan alasan lain  yang dapat dimuncul­kan.
Menurut Joachim Wach, seorang sar­jana ahli dalam sosiologi agama, se­tidaknya terdapat dua pandangan ter­hadap kehadiran agama dalam suatu ma­sya­rakat, negatif dan positif. Pen­dapat  pertama mengatakan, ketika a­ga­ma hadir dalam satu komunitas,  perpecahan tak dapat dielakkan. Salah satu se­babnya adalah ia hadir dengan se­perangkat ritual dan sistem ke­percayaan yang lama-lama melahirkan sua­tu komunitas tersendiri yang ber­beda dari komunitas pemeluk agama la­in. Rasa perbedaan tadi kian intensif ke­tika para pemeluk suatu agama telah sampai pada sikap dan keyakinan bah­wa satu-satunya agama yang benar a­dalah agama yang dipeluknya. Se­dangkan yang lain salah dan kalau per­lu dimusuhi.
Pandangan yang kedua adalah sebaliknya. Justru agama berperan se­bagai faktor integrasi. Katakanlah ke­tika masyarakat hidup dalam suku-su­ku dengan sentimen sukuisme yang ting­gi, bahkan di sana berlaku hukum rim­ba, biasanya agama mampu ber­peran memberikan ikatan baru yang le­bih menyeluruh sehingga terkuburlah ke­pingan-kepingan sentimen lama sum­ber perpecahan tadi. Agama dengan sistem kepercayaan yang ba­ku, bentuk ritual yang sakral, serta organisasi keagamaan dalam hu­bung­an sosial mempunyai da­­ya ikat yang amat kuat bagi integrasi masya­rakat.
Dengan demikian, mengikuti teori Joachim Wach, bagaimana pun juga ke­hadiran dan eksistensi  Islam di In­donesia ini jelas merupakan faktor in­tegrasi sekaligus konflik yang amat besar, yang mam­pu mengikis friksi-friksi sukuisme se­belumnya.

Agama Dan Konflik
Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia, beberapa tahun terakhir. Beberapa di antaranya berskala besar dan berlangsung lama, seperti kerusuhan di Ambon, (mulai 1998), Poso (mulai 1998), Maluku Utara (2000), dan beberapa tempat lain.
Kajian-kajian yang telah dilakukan mengatakan bahwa konflik di Maluku pada awalnya disebabkan oleh karena kesenjangan ekonomi dan kepentingan politik. Eskalasi politik meningkat cepat karena mereka yang bertikai melibatkan sentimen keagamaan untuk memperoleh dukungan yang cepat dan luas. Agama dalam kaitan ini bukan pemicu konflik, karena isu agama itu muncul belakangan.

Faktor Keagamaan
Agama pada dasarnya memiliki faktor integrasi dan disintegrasi. Faktor integrasi, antara lain, agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan dan kemanusiaan. Agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan sesama makhluk. Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat.
Ajaran yang disebutkan itu bersifat universal. Selain itu, terdapat ajaran agama yang juga bisa menimbulkan disintegrasi, bila dipahami secara sempit dan kaku. Di antaranya, setiap pemeluk agama menyakini bahwa agama yang dianutnya adalah jalan hidup yang paling benar, sehingga dapat menimbulkan prasangka negatif atau sikap memandang rendah pemeluk agama lain.
Keragaman agama ternyata menimbulkan dilema tersendiri.  Di satu sisi, memberikan kontribusi positif untuk pembangunan bangsa. Namun di sisi lain keragaman agama dapat juga berpotensi  menjadi sumber konflik di kemudian hari.
Berikut ini penjelasan tentang sebagian dari faktor keagamaan. Penyiaran agama merupakan perintah (paling tidak sebagian) agama. Kegiatan ini sering dilakukan tanpa disertai dengan kedewasaan dan sikap toleran terhadap pemeluk agama lain, untuk memilih sendiri jalan hidupnya.
Akibat terjadi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau bahkan pemaksaan yang sifatnya terselubung, maupun terang-terangan. Kasus semacam itu, dapat merusak hubungan antar umat beragama. Untuk mengurangi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau bahkan pemaksaan semacam itu, pemerintah mengeluarkan SKB Menag dan Mendagri No 1 tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
Faktor lain terkait dengan perkawinan. Dalam kemajemukan masyarakat di Indonesia, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda sering menjadi pemicu terganggunya hubungan antar umat beragama. Hal itu terlihat jika perkawinan dijadikan salah satu alat untuk mengajak pasangan agar berpindah agama. Konversi agama dilakukan untuk mengesahkan perkawinan. Setelah perkawinan berlangsung beberapa lama, orang yang bersangkutan kembali ke agamanya semula dan mengajak pasangannya untuk memeluk agama tersebut.
Kasus yang juga sering muncul adalah terkait dengan pendirian rumah ibadat. Kehadiran sebuah rumah ibadat sering mengganggu hubungan antar umat beragama, atau bahkan memicu konflik karena lokasinya berada di tengah komunitas yang kebanyakan menganut agama lain. Rumah ibadat dalam kaitan ini, tidak hanya dilihat sebagai tempat untuk melaksanakan ibadat atau kegiatan keagamaan semata, tetapi juga sebagai simbol keberadaan, suatu kelompok agama.
Permasalahannya menjadi rumit jika jumlah rumah ibadat tersebut dipandang oleh pihak lain tidak berdasarkan keperluan, melainkan untuk kepentingan penyiaran agama pada komunitas lain. Kasus-kasus yang terkait dengan pengrusakan rumah ibadat menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi lahirnya SKB Menag dan Mendagri No 1 tahun 1969 yang kemudian disempurnakan dan diganti dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 tahun 2006/No 8 tahun 2006 tanggal 21 Maret 2006.

Faktor-faktor non Keagamaan
Adapun faktor-faktor non keagamaan yang diidentifikasi sebagai penyebab ketidakrukunan umat beragama meliputi beberapa hal, antara lain kesenjangan ekonomi, kepentingan politik, perbedaan nilai sosial budaya, kemajuan teknologi informasi dan transportasi.
Kehadiran penduduk pendatang di satu daerah sering menimbulkan kesenjangan ekonomi, sebab mereka lebih ulet dan trampil bekerja dibandingkan dengan penduduk asli . Kondisi itu sering menimbulkan kecemburuan sosial dan dapat memicu konflik. Selanjutnya, dalam berbagai kasus, munculnya suatu kelompok politik juga dipengaruhi oleh misi keagamaan dari para elit kelompok politik tersebut.
Ketegangan atau konflik di antara elit politik tersebut lalu pada gilirannya dilihat sebagai pertikaian antar kelompok politik yang berbeda agama. Demikian pula perbedaan nilai budaya juga dapat menjadi penyebab konflik bila suatu komunitas yang kebetulan menganut agama tertentu mengalami ketersinggungan karena perilaku atau tindakan pihak lain, yang kebetulan menganut agama berbeda kurang memahami atau kurang menghargai adat istiadat, atau budaya yang mereka hormati.[15]

Sejarah Singkat Masuknya Agama Islam di Indonesia
Para ahli sejarah berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13, yang dibawa oleh para pedagang India yang menganut paham sufisme (mistik Islam).
Paham sufisme dalam berbagai bentuknya lebih menekankan pada pengertian agama sebagai urusan pribadi seseorang dalam usahanya untuk mencari hubungan yang intim dengan Allah Hubungan pribadi ini mencari suatu keakraban hidup dengan Allah, dan yang berpusat pada kepuasan dan kehangatan hati atau perasaan.
Menurut para ahli, sufisme pada dasarnya adalah religion of the heart atau agama hati, dan bukan religion of the law atau agama hukum. Atas dasar ini, maka memang berbeda dengan perjumpaan Islam - Kristen di Eropa pada abad-abad pertama Hijriyah, yang ditandai oleh konfrontasi dan kekerasan, maka penyebaran agama; Islam ke dunia timur, termasuk ke Indonesia adalah melalui jalan dagang dan jalan damai. Sebagai kekuatan, Islam pada mulanya mengambil posisi di daerah-daerah pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa dan pantai timur Sumatera. Dari daerah pantai dan pusat dagang ini, Islam menyebar secara berangsur-angsur dan secara damai ke daerah-daerah pedalaman.
Memang para sufi inilah, yang telah berhasil membuat Islam para raja dan menjadikan mereka sultan yang mengepalai pemerintahan dalam suatu daerah Islam. Begitu raja menjadi Islam, maka rakyat pun secara otomatis mengikuti agama sang sultan. Proses pengislaman seperti ini merupakan hal yang lazim pada saat itu, dan merupakan gejala yang sama yang terjadi di Jerman pada zaman reformasi abad ke-16. Jika kita mengamati perkembangan Islam di Indonesia, maka Islam versi sufi ini menyebar ke seluruh nusantara. Dan untuk kurun waktu kira-kira 600 tahun, keadaan Islam versi sufi ini tetap berlangsung tanpa gangguan yang berarti.

Sejarah Singkat Masuknya Agama Kristen di Indonesia
Pada akhir abad ke-15, orang Portugis telah mendapat jalan laut ke timur: Vasco De Gama tiba di pantai India pada tahun 1498. Beberapa tahun kemudian (1512). kapal-kapal Portugis mengunjungi kepulauan rempah-rempah, Maluku, untuk pertama kali, dan sejak tahun 1522 mereka tinggal tetap di Ternate, Ambon, Banda, dan lain-lain tempat untuk berdagang.
Paus membagi dunia baru antara Spanyol dan Portugis, maka salah satu syaratnya ialah raja-raja harus memajukan misi Katolik Roma di daerah-daerah yang telah diserahkan kepada mereka. Tuntutan ini memang sesuai dengan pertalian rapat antara negara dan gereja pada zaman itu, dan raja-raja dengan rela hati melayani kepentingan gereja.
Misionaris yang pertama-tama menginjakkan kakinya di pulau-pulau Maluku, ialah beberapa rahib Franciskan yang mendarat di Ternate pada tahun 1522, tetapi karena rupa-rupa perselisihan di antara orang Portugis sendiri, mereka segera terpaksa berangkat pulang. Lalu, mereka mulai bekerja di Halmahera pada tahun 1534. Tetapi karena kebengisan pembesar Portugis, rakyat bermufakat untuk mengusir semua orang kulit putih dan memaksa orang yang sudah masuk Kristen untuk murtad. Simon Vaz, seorang pater Franciskan, mati dibunuh selaku syahid pertama di Maluku (1536). Perlawanan ini ditindas, dan kemudian pater lain berusaha lagi untuk menanamkan bibit agama Roma di Halmahera. Di Ambon sebagian rakyat dibaptiskan, karena ingin mendapat pertolongan Portugis terhadap orang Islam.
Usaha misi baru berkembang sesudah kunjungan misionaris Yesuit yang masyhur, yaitu Franciscus Xaverius ke Maluku. Setelah mempersiapkan diri beberapa bulan lama di Maluku dengan mempelajari bahasa Melayu, Xaverius tiba di Ambon pada bulan Februari 1546. Setelah tiga bulan bekerja di sana, ia mengunjungi Ternate, Halmahera, dan Morotai. Setelah 15 bulan bekerja di Maluku, ia membaptiskan beribu-ribu orang.
Pada tahun 1570, misi Katolik Roma di Maluku ditimpa bencana yang hebat. Sultan Hairun dari Ternate dibunuh dalam benteng Portugis dengan pengkhianatan yang keji. Akibatnya ialah banyak kampung Kristen dibakar oleh orang Islam, Bacan dikalahkan oleh Ternate, sehingga hilang bagi misi, dan di mana-mana serangan Islam terhadap jemaat Kristen bertambah berbahaya sehingga banyak orang murtad. Kedudukan misi makin hari makin sukar, orang Portugis dibenci, kehidupan rohani banyak mundur, dan bilangan orang Kristen berkurang. Kebanyakan mereka secara nama saja. Jumlah para misionaris yang tinggal cuma sedikit dan mereka menderita pelbagai sengsara. Makin sukar kuasa Portugis, maka makin lenyaplah pengaruh misi.
Dalam rangka peperangan melawan Spanyol dan Portugis, orang-orang Belanda datang ke Indonesia. Mereka mengambil alih daerah yang dikuasai Portugis. Orang-orang Kristen dijadikan Protestan. Itulah awalnya Gereja Protestan memasuki wilayah nusantara ini.
Para Pendeta Protestan datang bersama-sama dengan kekuasaan Belanda dengan kongsi dagangnya yaitu VOC. Gereja terlalu erat berhubungan dengan negara (VOC) dan dikuasai olehnya.
Karena kepentingan gereja harus mengalah terhadap kepentingan negara (VOC), maka pekabaran Injil kepada orang-orang non Kristen tidak dapat berkembang.
Pada abad ke-19, di Eropa terjadi suatu gerakan yang membawa hidup baru, yaitu revival (kebangunan) yang besar. Hal ini membawa pengaruh yang besar terhadap perkembangan gereja di Indonesia. Abad ke-19 ini menjadi abad "Pekabaran Injil" bagi Indonesia. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20, diletakkanlah dasar gereja-gereja yang ada sekarang ini.

Konflik Islam - Kristen di Indonesia
Awal masuknya kekristenan di Indonesia sebenarnya dalam suasana yang kurang bersahabat, terutama berhubungan dengan kelompok masyarakat beragama, khususnya agama Islam. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, pada abad ke-16, terjadi konflik yang disertai dengan penindasan fisik dan mental dari orang Islam terhadap orang Kristen di Maluku.
Setelah Belanda dikalahkan Jepang, maka keadaan turut berubah dalam hubungan Islam - Kristen di Indonesia. Untuk maksud keuntungan politiknya, Jepang memberikan keleluasaan yang besar kepada Islam untuk turut mendukung berbagai rencana pengukuhan kedudukan penjajahan Jepang di Indonesia.
Pada sisi lain, kelompok Islam beraliran sunni atau santri sejak awal perjuangan untuk merebut kemerdekaan dilihat sebagai jihad untuk melawan kaum kafir dan yang sekaligus merupakan tugas pribadi dan tugas masyarakat dalam umat.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan adalah penampakan ketidakpuasan sebagian santri terhadap gagalnya gagasan negara Islam diberlakukan di Indonesia.
Pada tahun 1985 terjadi pemboman terhadap bank-bank, beberapa gereja, dan Sekolah Teologia. Walaupun pemerintah tidak menyebut dengan jelas pihak yang tersangkut dalam peristiwa itu, namun adalah jelas dalam kejadian yang sebenarnya bahwa beberapa oknum Islam fundamentalis terlibat.
Sudah merupakan gejala umum dalam kerusuhan di Indonesia bahwa bangkitnya oposisi keras Islam mengambil bentuk dalam gerakan anti pemerintah, anti Cia, dan anti Kristen.
Pada tahun 1996 dan awal tahun 1997 diwarnai dengan berbagai kerusuhan di berbagai tempat di Indonesia. Pada bulan April 1996, Cikampek sebuah kota di sebelah timur ibu kota DKI Jakarta mengalami kerusuhan yang menjurus pada huru-hara SARA, dimana berapa gedung gereja dan SD Kristen dilempari batu oleh massa yang marah. Peristiwa serupa dialami oleh orang-orang Kristen di daerah Cileungsi - Bogor. Pada tanggal 14 April, beberapa Gereja Pantekosta dirusak dan dihancurkan massa, bahkan ada anggota jemaat yang dipukuli oleh massa yang marah dan brutal.
Kasus-kasus yang melanda beberapa kota di Jawa Barat itu ternyata berkembang dan menjalar ke kota Surabaya pada bulan Juni 1996 tidak kurang dari 10 gedung gereja dirusak oleh massa.
Pada tanggal 10 Oktober 1996, kasus yang lebih berat dan lebih luas menimpa kota Situbondo dan sekitarnya. Lebih dari 20 gedung gereja dan beberapa Sekolah Kristen dihancurkan dan ada yang dibakar. Kasus serupa kembali menerpa kota Tasikmalaya. Tanggal 26 Desember 1996, massa mengamuk dan menghancurkan berbagai fasilitas umum, kantor polisi, dan gedung-gedung gereja. Tercatat paling tidak 13 gedung gereja dihancurkan sebagian dibakar, dua sekolah Kristen dan Katolik dibakar.
Pada awal tahun 1997, tepatnya 30 Januari 1997, kembali terjadi kerusuhan di daerah Jawa Barat, yaitu kota Rengasdengklok. Dan, kembali gedung gereja dan Sekolah Kristen dihancurkan dan sebagian dibakar massa.
Masih ada banyak kasus lagi yang berbau SARA. khususnya kental berbau keagamaan yang belum dikemukakan, namun berbagai kasus yang sudah dikemukakan di atas tersirat sentimen keagamaan demikian kuat. Konflik masyarakat beragama Islam dengan orang Kristen tak terhindarkan.

Kesimpulan
Dari uraian di atas, bahwa konflik antara umat beragama, dalam hal ini Islam dan Kristen, dalam berbagai kasus, tidaklah disebabkan karena perbedaan konsepsi di antara dua agama besar ini. Itu lebih merupakan asumsi yang tendensius, yang disengaja atau tidak, berupaya “mengaburkan” peran agama dalam membentuk peradaban baru yang lebih progressif. Dia lebih menonjolkan “wajah muram” agama-agama di tengah umatnya, sehingga agama tidak ubahnya seperti tembok yang memisahkan manusia dengan manusia  dari kepercayaan yang berbeda, sekaligus menumbuhsuburkan sikap kebencian dan permusuhan di antara pemeluk agama.
Implikasi yang muncul kemudian adalah lahirnya dua kutub pemikiran. Yang pertama bersikap “anti agama” sementara yang terakhir mencoba “menyamakan” agama-agama, dengan berlindung di balik “topeng” pluralisme agama. Gagasan yang terakhir ini, jika ditinjau dari keseluruhan aspek Islam terhadap Kristen jelas suatu gagasan yang tidak mungkin, karena “memang” kedua agama ini berbeda.
Kendatipun demikian, konflik antara umat Islam dan Kristen jika dianalisa lebih jauh, tidak seluruhnya disebabkan karena perbedaan konsepsi di antara kedua pemeluknya. Faktor-faktor politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya sering lepas dari pengamatan, sehingga agama dijadikan alat legitimasi terhadap sikap-sikap agresif dan radikal kelompok satu terhadap yang lainnya.